Perang Melawan Penjajahan Kolonial Hindia Belanda

EYANG KECIL BLOG

Perang Melawan Penjajahan Kolonial Hindia Belanda


Pada postingan saya kali ini saya akan berbagi informasi mengenai Perang Melawan Penjajahan Kolonial Hindia Belanda. Sebenarnya ini tugas dari guru sejarah saya. Jadi maklum jika isinya masih berantakan. Selamat membaca...

1. Perang Tondano

“Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 adalah perang yang melibatkan
orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada
permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari
implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di
Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara “
(Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:375)

A. Perang Tondano I
Perang Tonando I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Perang Tondano terjadi karena VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada VOC. Oleh karena VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang orang Minahasa, VOC membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan tempat tinggalnya di Danau Tondano dengan rumah-rumah apung. Pasukan VOC kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang berpusat di Danau Tondano. Simon Cos kemudian memberikan ultimatum yang isinya antara lain: 
a.  Orang-orang Tondano harus menyerahkan para tokoh pemberontak kepada VOC
b.  Orang-orang Tondano harus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak sebagai ganti rugi rusaknya tanaman padi karena genangan air Sungai Temberan.
Ternyata rakyat Tondano bergeming dengan ultimatum VOC tersebut. Simon Cos sangat kesal karena ultimatumnya tidak berhasil. Pasukan VOC akhirnya ditarik mundur ke Manado. Setelah itu rakyat Tondano menghadapi masalah dengan hasil pertanian yang menumpuk, tidak ada yang membeli. Dengan terpaksa mereka kemudian mendekati VOC untuk membeli hasil-hasil pertaniannya. Dengan demikian terbukalah tanah Minahasa oleh VOC. Berakhirlah Perang Tondano I. Orang-orang Minahasa itu kemudian memindahkan perkampungannya di Danau Tondano ke perkampungan baru di daratan yang diberi nama Minawanua (ibu negeri).

B. Perang Tondano II
Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini terjadi karena oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi. Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung.(Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik). Dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2.000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah Ukung Lonto. Ukung Lonto memiliki sifat yang berani dalam menegakan keadilan. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap program Daendeles.
Belanda terus menyerang rakyat Tandano akan tetapi dengan strategi perlawanan dari rumah ke rumah dan semangat yang tidak padam dari rakyat minahasa belanda dapat sedikit dipikul mundur, Bahkan serangan rakyat Tandano dapat menenggelamkan kapal terbesar milik Belanda ke danau. Perang Tandano II berakhir pada tahun 1809 setelah Benteng Moraya milik para pejuang hancur. Para pejuang memilih mati daripada menyerah.

2. Pattimura angkat senjata

Perang ini disebabkan oleh keserakahan kolonial Hidia Belanda yang memonopoli rakyat Maluku serta mengharuskan penyerahan wajib, masih juga harus dikenai kewajiban kerja paksa, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi. Selain itu jika ada penduduk yang melanggar akan ditindak tegas.
Upaya dilakukan para tokoh dan pemuda Maluku denganmelakukan serangkaian pertemuan rahasia. Dalam berbagai pertemuan itu disimpulkan bahwa rakyat Maluku tidak ingin terus menderita di bawah keserakahan dan kekejaman Belanda. Oleh karena itu, perlu mengadakan perlawanan untuk menentang kebijakan Belanda. Residen Saparua harus dibunuh. Thomas Matulessy dipilih sebagai pemimpin yang kemudian terkenal dengan gelarnya Pattimura. Gerakan perlawanan dimulai dengan menghancurkan kapal-kapal Belanda di pelabuhan. Para pejuang Maluku kemudian menuju Benteng Duurstede dan bertarung dengan Belanda yang waktu itu dipimpin oleh Residen van den Berg. Selain Pattimura Christina Martha Tiahahu, Thomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina juga ikut dengan sekuat tenaga mengepung Benteng Duurstede. Pattimura dan pengikutnya terus melawan dengan gerilya. 
Pattimura tertangkap dan pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura dihukum gantung di alun-alun Kota Ambon. Christina Martha Tiahahu yang berusaha melanjutkan perang gerilya akhirnya juga tertangkap. Ia tidak dihukum mati tetapi bersama 39 orang lainnya dibuang ke Jawa sebagai pekerja rodi. Di dalam kapal Christina Martha Tiahahu mogok tidak mau makan dan tidak mau buka mulut. Ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada tanggal 2 Januari 1818. Jenazahnya dibuang ke laut antara Pulau Buru dan Pulau Tiga. Berakhirlah perlawanan Pattimura.

Pattimura
Pattimura

3. Perang Padri

Perang Padri terjadi di tanah Minangkabau, Sumatera Barat pada tahun 1821- 1837. Perang ini terjadi karena para pembaru Islam yang sedang konflik dengan kaum adat yang menjadi pintu masuk campur tangan belanda. Pada tanggal 10 Februari 1821, Belanda mengadakan perjanjian persahabatan dengan tokoh Adat, Tuanku Suruaso dan 14 Penghulu Minangkabau. Berdasarkan perjanjian ini maka beberapa daerah kemudian diduduki oleh Belanda. Pada tanggal 18 Februari 1821, Belanda yang telah diberi kemudahan oleh kaum Adat berhasil menduduki Simawang. Di daerah ini telah ditempatkan dua meriam dan 100 orang serdadu Belanda.
Beberapa tokoh yang memimpin dalam perang ini antara lain Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Nan Cerdik, dan Peto Syarif (Tuanku Imam Bonjol).
Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol

Di bawah komando Imam Bonjol mereka menggunakan strategi bergerilya. Bulan Oktober 1837, secara ketat Belanda mengepung dan menyerang benteng Bonjol. Akhirnya Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya terdesak. Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol ditangkap. Pasukan yang dapat meloloskan diri melanjutkan perang gerilya di hutan-hutan Sumatera Barat. Imam Bonjol sendiri kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Tanggal 19 Januari 1839 ia dibuang ke Ambon dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado sampai meninggalnya pada tanggal 6 November 1864.

4. Perang Diponegoro
Perang Diponegoro terjadi di Surakarta dan Yogyakarta pada tahun 20 juli 1825. Perang ini disebabkan oleh Belanda yang ikut campur dalam keraton dan menghasut para pemimpin dalam membuat kebijakan sehiangga menimbulkan sengsaranya hidup rakyat.
Salah satu tokoh dalam perang ini adalah putra dari Sultan Hamengkubuwana III yang bernama Raden Mas Ontowiryo atau lebih terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro merasa tidak puas dengan melihat penderitaan rakyat dan kekejaman serta kelicikan Belanda. Pangeran Diponegoro merasa sedih dengan menyaksikan masuknya budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya Timur. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro berusaha menentang dominasi Belanda yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan.
Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro

Goa Selarong dipilih sebagai markas inti untuk membuat strategi perang. Selain itu masih banyak juga disiapkan markas komando cadangan untuk menghadapi perang melawan Belanda. Pembagian wilayah perang juga disiapkan beserta para panglima yang memimpin.
Goa Selarong
Goa Selarong

Perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro senantiasa bergerak dari pos pertahanan yang satu ke pos yang lain. Pengaruh perlawanan Diponegoro ini semakin meluas. Perkembangan Perang Diponegoro ini sempat membuat Belanda kebingungan. Untuk menghadapi pasukan Diponegoro yang bergerak dari pos yang satu ke pos yang lain, Jenderal de Kock kemudian menerapkan strategi dengan sistem “Benteng Stelsel” atau “Stelsel Benteng”.
Penyerahan diri atau tertangkapnya para pemimpin pengikut Pangeran Diponegoro, merupakan pukulan berat bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Namun pasukan di bawah komando Diponegoro terus berjuang mempertahankan tanah tumpah darahnya. Pasukan ini bergerak dari pos
yang satu ke pos yang lain. Belum ada tanda-tanda perlawanan Diponegoro mau berakhir. Belanda kemudian mengumumkan kepada khalayak pemberian hadiah sejumlah 20.000 ringgit bagi siapa saja yang dapat menyerahkan Pangeran Diponegoro baik dalam keadaan hidup maupun mati. Tetapi nampaknya tidak ada yang tertarik dengan pengumuman itu.

5. Perlawanan di Bali
Perlawanan di Bali / Perang Puputan terjadi pada sekitar tahun 1830-an. Penyebabnya Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels mulai terjadi kontak dengan kerajaan-kerajaan di Bali. Akhirnya dicapai perjanjian atau kontrak politik antara raja-raja di Bali dengan Belanda. Perjanjian kontrak antara raja-raja di Bali dengan Belanda itu terutama seputar Hukum Tawan Karang agar dihapuskan.Karena kelihaian atau bujukan Belanda, raja-raja di Bali dapat menerima perjanjian untuk meratifikasi penghapusan Hukum Tawan Karang. Tetapi sampai tahun 1844 Raja Buleleng dan Karangasem belum melaksanakan perjajian tersebut. Terbukti pada tahun 1844 itu penduduk melakukan perampasan atas isi dua kapal Belanda yang terdampar di Pantai Sangsit (Buleleng) dan Jembrana (waktu itu juga daerahnya Buleleng). Belanda protes keras terhadap kejadian ini. Belanda memaksa Raja Buleleng, Gusti Ngurah Made Karangasem agar melaksanakan isi perjanjian yang telah disepakati. Belanda juga menuntut agar Buleleng membayar ganti rugi atas kapal Belanda yang dirampas penduduk.
Tokoh dalam perang ini Raja Gusti Ngurah Made Karangasem yang mendapat dukungan patihnya, I Gusti Ktut Jelantik, dengan tegas menolak tuntutan Belanda tersebut. Bahkan I Gusti Ktut Jelantik sudah melakukan latihan dan menghimpun kekuatan untuk melawan kesewenang-wenangan Belanda. Dengan demikian perang tidak dapat dihindarkan. pada tanggal 27 Juni 1846 telah datang pasukan Belanda berkekuatan 1.700 orang pasukan darat yang langsung menyerbu kampung-kampung di tepi pantai. Di samping itu, masih ada pasukan laut yang datang dengan kapal-kapal sewaan. Pertempuran sengit terjadi antara para pejuang dari Buleleng, dibantu oleh para pejuang Karangasem, dan Klungkung melawan Belanda. Selama dua hari para pemimpin, prajurit, dan rakyat Buleleng bertempur mati-matian. Perang-perang terus terjadi setelahnya. hingga pada tanggal 15 April 1849 semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk menyerang Jagaraga. Dalam tempo dua hari, yakni tanggal 16 April sore hari semua kekuatan di Jagaraga dapat dilumpuhkan oleh Belanda. Runtuhlah Benteng Jagaraga sebagai pertanda lenyapnya kedaulatan rakyat Buleleng. Raja Buleleng diikuti I Gusti Ktut Jelantik dan Jero Jempiring menyingkir ke Karangasem. Tetapi mereka tertangkap dan terbunuh dalam upaya untuk mempertahankan diri. Dengan terbunuhnya Raja Buleleng dan Patih Ktut Jelantik maka jatuhlah Kerajaan Buleleng ke tangan Belanda. Menyusul kemudian bulan Mei 1849 Karangasem berhasil ditaklukkan, berikutnya Kusumba (Klungkung) jatuh pula ke tangan Belanda. Tetapi nampaknya tidak mudah Belanda untuk menguasai Pulau Bali. Pertempuran demi pertempuran masih terus terjadi. Tahun 1906 terjadi Perang Puputan di Badung, pada tahun 1908 terjadi Perang Puputan di Klungkung.

6. Perang Banjar
Perang ini desebabkan karena Belanda yang ikut campur dalam pemerintahan Kerajaan Banjar dalam menentukan pewiris atau penerus tahta kerajaan. Tahun 1857 Sultan Adam meninggal. Dengan sigap Residen E.F. Graaf von Bentheim Teklenburg mewakili Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai sultan dan Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai mangkubumi, walaupun wasiat yang sah yang diangkat menjadi sultan adalah Pangeran Hidayatullah.Dalam suasana yang penuh ketegangan itu ditambah terjadi gerakan di pedalaman yang dipelopori oleh Aling. Aling yang juga dikenal sebagai Panembahan Muning mengatakan dalam semedinya ia mendapatkan firasat agar Kesultanan Banjarmasin dikembalikan kepada Pangeran Antasari, sepupu Pangeran Hidayatullah. Pangeran Antasari adalah juga seorang pangeran yang diperkirakan juga keturunan raja di Banjarmasin. Pada tanggal 28 April 1859 orang-orang Muning menyerbu kawasan tambang batu bara di Pengaron. Sekalipun gagal menduduki benteng di Pengaron tetapi para pejuang Muning berhasil membakar kawasan tambang batu bara dan pemukiman orang-orang Belanda di sekitar Pengaron. Banyak orang-orang Belanda yang terbunuh oleh gerakan orang-orang Muning ini. Mereka juga melakukan penyerangan ke perkebunan milik gubernemen di Gunung Jabok, Kalangan, dan Bangkal Dengan demikian berkobarlah Perang Banjar. Kemudian diikuti oleh berbagai perang setelahnya. Hingga akhirnya pada tanggal 28 Februari 1862 Hidayatullah berhasil ditangkap bersama anggota keluarga yang ikut bergerilya. Hidayatullah bersama anggota keluarganya kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Berakhirlah perlawanan Pangeran Hidayatullah.

7. Aceh Berjihad
Teuku Umar
Teuku Umar

Perang Aceh terjadi pada tahun 1873 - 1912. Perang ini merupakan jihad dari rakyat Aceh melawan kedzoliman dari bangsa Belanda. Perang ini terjadi karena Belanda yang ingin menguasai seluruh Sumatera termasuk Aceh dan melakukan eksploitasi terhadap rakyat Aceh. Agresi tentara Belanda terjadi pada tanggal 5 April 1873. Tentara Belanda di bawah pimpinan Jenderal Mayor J.H.R. Kohler terus melakukan serangan terhadap pasukan Aceh. Banyak jatuh korban dari pihak Belanda. Begitu juga tidak sedikit korban dari pihak pejuang Aceh yang mati syahid. Perlawanan rakyat Aceh semakin meluas setelah digelorakan perang sabil. Cik Di Tiro mengobarkan perlawanan di Sigli dan Pidie.
Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien

Di Aceh bagian barat tampil Teuku Umar beserta isterinya Cut Nyak Dien. Pertempuran sengit terjadi di Meulaboh. Beberapa pos pertahanan Belanda berhasil direbut oleh pasukan Teuku Umar. Pasukan Aceh dengan semangat jihadnya telah menambah kekuatan untuk melawan Belanda. Sementara Cut Nyak Dien terus mengobarkan perang jihad dengan bergerilya. Tetapi setelah pos pertahan pasukannya dikepung tentara Belanda pada tahun 1906 Cut Nyak Dien berhasil ditangkap. Ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat sampai meninggal pada tanggal 8 November 1908. Cut Nyak Mutia melanjutkan perang melawan kekejaman Belanda. Pada tanggal 26 September 1910 terjadi pertempuran sengit di Paya Cicem. Cut Nyak Mutia berhasil meloloskan diri. Bersama puteranya Raja Sabil (baru usia 11 tahun), Cut Nyak Mutia terus memimpin perlawanan. Tetapi Cut Nyak Mutia akhirnya dapat didesak dan gugur setelah beberapa peluru menembus kaki dan tubuhnya. Demikian Perang Sabil yang digelorakan rakyat Aceh secara massal baru berakhir pada tahun 1912. Tetapi sebenarnya masih adaerakan-gerakan perlawanan lokal yang berskala kecil yang sering terjadi. Bahkan dikatakan perang-perang kecil itu berlangsung sampai tahun 1942.

8. Perang Batak

Si Singamangaraja XII
Si Singamangaraja XII

Perang Batak terjadi sejak tahun 1878 dan dipimpin oleh Patuan Bosar Ompu Pulo Batu yang bergelar Si Singamangaraja XII. Perang ini disebabkan karena Belanda yang memaksakan kristenisasi di wilayah Batak. Penyebaran agama Kristen ini ditentang oleh Si Singamangaraja XII, karena dikhawatirkan perkembangan agama Kristen itu akan menghilangkan tatanan tradisional dan bentuk kesatuan negeri yang telah ada secara turun temurun. Perang mulai pecah, Si Singamangaraja XII terus melakukan serangan. Begitu juga dengan Belanda yang terus melakukan serangan. Perang ini belangsung bertahun-tahun. Akhirnya pada tanggal 17 Juni 1907 siang pasukan Belanda dikerahkan untuk menangkap Si Singamangaraja XII di pos pertahanannya di Aik Sibulbulon di daerah Dairi. Dalam keadaan terdesak, Si Singamangaraja XII dengan putera-puteranya tetap bertahan dan melakukan perlawanan sekuat tenaga. Tetapi dalam pertempuran itu Si Singamangaraja XII tertembak mati. Begitu juga putrinya Lopian dan dua orang puteranya Sutan Nagari dan Patuan. Dengan demikian berakhirlah Perang Batak.


Sekian penjelasan dari kami Artikel di atas disusun bersama
Dhia Mutiara
Ismail Joyo Kusumo
Rika Astari Andrianti
Niken Eka D.
Rinca Icha Ferinca



Previous
Next Post »

Silahkan berkomentar dengan baik tanpa spam.
"Komentar anda adalah motivasi untuk blog ini" ConversionConversion EmoticonEmoticon

Thanks for your comment